Jilbab : "Menutup Kepala, Bukan Otak Saya"
in anak-cilegon@yahoogroups.com, FR wrote:
(Teriring salam hormat saya buat siapa saja yang memakai Jilbab yang
tidak cuma ingin terlihat cantik dihadapan manusia tapi juga cantik
dihadapan Sang Khalik)
Jadi menarik jika membandingkan antara Turki dengan Pakistan, Arab,
Mesir, Iran dan Indonesia.
Pakistan berstatus Republik Islam Pakistan, hasilnya sampai saat ini:
Kemiskinan dalam arti bangsa yang miskin semiskin-miskinnya, korupsi
dan kudeta berdarah.
Mesir, pusat pengembangan Ikhwanul Muslimin puluhan tahun, hasilnya
sampai saat ini: belum terlihat apa-2. Kita tunggu saja. Tapi yang
perlu dicatat, Mesir adalah pendukung utama Isreal melalui perjanjian
Camp David. Mesir menikmati aliran dana tak terkira dari Amrik atas
sikapnya mendukung Israel.
Arab, pusat pengembangan wahabi puluhan tahun, hasilnya sampai saat
ini: sebuah bangsa bodoh dan arogan yang dikuasai monarki keluarga
yang menjadi antek Amerika =))
Iran berstatus Republik Islam Iran, hasilnya sampai saat ini: cukup
lumayan baik lah. Demokrasi dan ekonomi berjalan. Sayangnya, Presiden
Ahmad Nejad terlalu vulgar dalam diplomasi internasional sehingga
terlalu banyak konflik. Akibatnya, dibawah Ahmad Nejad, ekonomi Iran
turun drastis. Rakyat ndak puas dengan Ahmad Nejad, kelompok keras
Iran pro Ahmad Nejad kalah telak dalam pemilihan parlemen tahun lalu.
Turki, ini adalah menarik. Turki punya kemiripan dengan Indonesia.
Pernah punya pengalaman dipaksa oleh Rezim Militer untuk menjadi
sekular. Kemal Ataturk berhasil menjadikan Turki sekular, karena saat
itu rakyat Turki phobia dengan Kekhalifahan Islam yang korup dan
mengalami degredasi moral. Rakyat Turki sukarela dengan senang hati
menjadi sekular.
Soeharto relatif gagal men-sekular-kan Indonesia. Dulu jilbab
dilarang. Orang Islam dibunuhin; peristiwa Priok, Lampung, dll. Saya
juga inget dengan cerita jaman dulu. Jaman sebelum ICMI, di Depkeu
(dan berbagai Departemen lainnya) itu kalau meeting jam 17.30 an sore.
Akibatnya, Sholat magrib-nya lewat. Lha wong Menterinya ndak Sholat,
yah stafnya ndak berani break untuk Sholat =))
Sama dengan Turki meskipun dimensi kesekularannya relatif berbeda,
rakyat Indonesia hidup dalam alam pemerintahan sekular. Tapi
analis-analis kredibel memperkirakan Indonesia dan Turki lah kelak
yang akan memimpin peradaban Islam di masa depan.
Kajian-2 analis dari PriceWaterhouseCooper dan Institusi Keuangan
lainnya memperkirakan Indonesia dan Turki akan menjadi emerging
country yang bisa menyalip G-7 (Termasuk Jerman, Jepang, Inggris dan
Perancis) dimasa depan.
Memang kita masih punya masalah korupsi. Tapi kita punya keunggulan
yang bagus: (1) Demokrasi dan (2) Persamaan gender.
Demokrasi memang tidak menjamin sebuah negara otomatis makmur. Tapi
demokrasi adalah syarat utama tegaknya law enforcement, yang membuat
meritrokrasi menjadi budaya bangsa (bukan lagi KKN). Akhirnya kita
menjadi bangsa kompetitif.
Persamaan gender menghasilkan sinergi antara laki-laki dan perempuan.
Memang sampai hari ini, banyak wanita meskipun pinter masih malu-2
untuk tampil karena masih ada budaya sungkan. Tapi generasi anak kita
akan berbeda karena kita mendidik anak laki dan perempuan sama. Tidak
dibedakan. 15 tahun kedepan sinergi ini akan menjadi kekuatan.
Tentu saja, sampeyan yang laki-2 harus siap menerima kenyataan jika
nanti akan lebih banyak lagi wanita yang berani selingkuh. Karena
mereka merasa "punya hak yang sama" untuk berselingkuh ria akibat
persamaan gender ini. Jadilah, cerita tentang bobo siang-siang adalah
suatu yang semakin biasa dan "wajar" untuk diterima ha..., ha... =))
Atau memang untuk itukah perlunya JILBAB? Untuk menghentikan budaya
"bobo siang-siang?" Untuk mempertanggungjawabkan anugerah kecantikan
yang dimilikinya pada Sang Khalik :)
Salam,
FR
http://www.jawapos.co.id/index.php?act=detail_c&id=301181
Kontroversi Jilbab Calon First Lady Turki
ANKARA - Setelah sempat terganjal protes masyarakat dalam
pencalonannya yang pertama, Abdullah Gul semakin mantap melaju ke
kursi kepresidenan. Ini berarti peluang Hayrünnisa Özyurt menjadi
first lady Turki pun semakin terbuka. Namun, jilbab yang melekat di
kepala perempuan 42 tahun itu tetap menjadi kontroversi di negeri
sekular tersebut.
Meski demikian, perempuan anggun yang selalu ceria itu merasa
tidak perlu mengkhawatirkan kontroversi seputar penutup kepalanya.
Walau sebagian besar tokoh oposisi Turki menerjemahkan jilbab sebagai
simbol perlawanan terhadap sekularisme, Hayrünnisa sangat jauh dari
kesan radikal tersebut. "Bagi saya, ini (jilbab) sebuah pilihan
pribadi yang harus dihormati," tandas pendamping hidup Gul selama 27
tahun terakhir itu.
Republik Turki yang didirikan Mustafa Kemal Atatürk memang dikenal
sebagai negara sekular. Walaupun populasi muslim di negara tersebut
yang terbesar di Eropa, Turki tidak pernah memasukkan unsur-unsur
agama dalam pemerintahan. Bahkan, di lembaga-lembaga pemerintahan dan
universitas Negeri Eurasia itu diterapkan aturan untuk tidak
berjilbab. Dengan kata lain, muslimah berjilbab tidak boleh memasuki
gedung-gedung tersebut.
Namun, jika parlemen Turki sepakat merestui Gul sebagai presiden
dalam pertemuan final besok, gedung-gedung bebas jilbab itu tampaknya
harus melonggarkan aturan. Sebab, istana presiden yang merupakan
simbol tertinggi pemerintahan sekular di Turki pun akan dihuni
muslimah berjilbab. "Jilbab saya hanya menutupi kepala saya, bukan
otak saya," tegasnya.(afp/hep)
0 Comments:
Post a Comment
Subscribe to Post Comments [Atom]
<< Home